Kamis, 02 April 2015

Kode Etik Jurnalistik

     Secara umum, setiap kelompok profesi selalu memiliki kode etik. Kode etik merupakan norma atau asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai pedoman tingkah laku. Kode etik berlainan dengan hukum walaupun keduanya bersifat mengatur serta menjadi pedoman dalam bertingkah laku. Sama halnya dengan jurnalistik yang juga memiliki kode etik jurnalistik.
Dalam sejarah pers Indonesia, terdapat jumlah kode etik yang dirumuskan dan diberlakukan oleh organisasi wartawan seperti PWI, AJI, dan kode etik yang dibuat bersama, yaitu KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia). Apabila seorang jurnalis melanggar kode etik jurnalistik. Dewan Kehormatan PWI berwenang menetapkan telah terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik dan sanksi terhadap pelakunya. Tugas Wartawan ialah Mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang diyakini merupakan kepentingan umum secara akurat dan tepat waktu.
Tugas Pers menurut UU Pers :
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
- Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
-  Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan umum
-   Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
UU no 40 tahun 1999 tentang Pers Pasal 7 ayat 2: Wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik :
Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik
Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6 : Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8 : Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9 : Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10 : Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa
Pasal 11 : Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Amanat UU no 40 tahun 1999 tentang Kemerdekaan Pers – Pasal 4:
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak warga negara
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informs
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Undang-undang Hukum Pidana  (KUHP)       
Di Indonesia, sudah banyak jurnalis dituntut ke pengadilan dengan menggunakan instrumen hukum pidana. Meski AJI menolak penggunaan KUHP, jurnalis harus mewaspadai sejumlah aturan pidana yang biasa dipakai untuk menjerat jurnalis atau penanggung jawab perusahaan pers. 
Pembocoran Rahasia Negara
Pasal 112
Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 134
Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 136 bis
Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
Pasal 137
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Perasaan Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan Agama
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan :
(a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
(b) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penyerangan/Pencemaran Kehormatan atau Nama Baik
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. (Pasal 310)
Pemberitaan Palsu
(1). Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317) 
Hukum Perdata Terkait Pers
Pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365, 1366 dan 1367. Pasal 1365 berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Contoh Kasus Kode Etik Jurnalistik
     Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.

     Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar