Secara umum, setiap kelompok profesi selalu memiliki kode etik. Kode etik
merupakan norma atau asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai pedoman
tingkah laku. Kode etik berlainan dengan hukum walaupun keduanya bersifat
mengatur serta menjadi pedoman dalam bertingkah laku. Sama halnya dengan
jurnalistik yang juga memiliki kode etik jurnalistik.
Dalam sejarah pers
Indonesia, terdapat jumlah kode etik yang dirumuskan dan diberlakukan oleh
organisasi wartawan seperti PWI, AJI, dan kode etik yang dibuat bersama, yaitu
KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia). Apabila seorang jurnalis melanggar kode
etik jurnalistik. Dewan Kehormatan PWI berwenang menetapkan telah terjadinya
pelanggaran kode etik jurnalistik dan sanksi terhadap pelakunya. Tugas Wartawan
ialah Mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang diyakini merupakan
kepentingan umum secara akurat dan tepat waktu.
Tugas Pers menurut UU
Pers :
- Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui
- Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
- Mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
- Melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan
kepentingan umum
- Memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
UU no 40 tahun 1999
tentang Pers Pasal 7 ayat 2: Wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik
Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik :
Pasal 1: Wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
Pasal 2: Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik
Pasal 3: Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah.
Pasal 4: Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: Wartawan
Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6 : Wartawan
Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7 : Wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi
latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8 : Wartawan
Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9 : Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
Pasal 10 : Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa
Pasal 11 : Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Amanat UU no 40 tahun
1999 tentang Kemerdekaan Pers – Pasal 4:
1. Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak warga negara
2. Terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran
3. Untuk menjamin
kemerdekaan pers pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informs
4. Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak
Tolak.
Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP)
Di Indonesia, sudah
banyak jurnalis dituntut ke pengadilan dengan menggunakan instrumen hukum
pidana. Meski AJI menolak penggunaan KUHP, jurnalis harus mewaspadai sejumlah
aturan pidana yang biasa dipakai untuk menjerat jurnalis atau penanggung jawab
perusahaan pers.
Pembocoran Rahasia
Negara
Pasal 112
Barang siapa dengan
sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang
diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan
sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 134
Penghinaan dengan
sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama
enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 136 bis
Pengertian penghinaan
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam
pasal 135, jika hal itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan
tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan,
namun dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang ketiga,
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
Pasal 137
(1) Barang siapa
menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi
penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah
melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu
belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan
pencarian tersebut.
Perasaan Permusuhan, Penyalahgunaan
atau Penodaan Agama
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau perbuatan :
(a) Yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.
(b) Dengan maksud agar
orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Penyerangan/Pencemaran Kehormatan
atau Nama Baik
(1) Barang siapa sengaja
menyerang kehormatan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu
dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling lama empat
ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. (Pasal 310)
Pemberitaan Palsu
(1). Barang siapa
dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa,
baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga
kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan
fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak
berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317)
Hukum Perdata Terkait
Pers
Pasal-pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf
yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan
dalam pasal 1365, 1366 dan 1367. Pasal 1365 berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Contoh Kasus Kode Etik
Jurnalistik
Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di
Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M
Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan
bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya
terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat
luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias
fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu
sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi
memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut.
Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang
disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan
Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan
tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya.
Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang
jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan
berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan
konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan
kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah
tentu menjadi diragukan.
Referensi :